Mr. Holland menyodorkan uang
kepada Helen, anaknya.
“Uang?” tanya Helen.
“Ya. Tolong belikan Papa wafer.
Itu tu di Toko Sinar dekat bank."
Helen mengernyitkan dahi, “Papa
serius?"
“Ya, tentu saja Papa serius. Papa
lagi kepingin wafer ni.. Ayo cepat berangkat. Kamu diperintah orang tua malas
ya.”
“Tapi apa Papa tidak khawatir
dengan keselamatan saya? Bagaimana kalau nanti saya ditembak orang pribumi?
Nanti saya bisa mati Papa…”
“Kamu jangan terlalu penakut.
Nanti Papa tembak balik orang yang tembak kamu.”
“Tapi saya sudah terlanjur mati
Papa….”
“Tidak, jangan khawatir, tidak
akan terjadi apa-apa.”
Dengan malas Helen beranjak dari kursinya. Tiba-tiba dia
menghentikan langkahnya. “Papa, naik apa saya kesana?”
Mr. Holland menghela nafas, “Ya
pakai sepeda dong, di zaman kita kan belum ada motor matic.”
Lalu Helen pergi mengambil
sepedanya. Dia lap sebentar debu-debu yang ada lalu dengan hati-hati mulai
mengayuh sepedanya.
Jarak dari rumahnya ke Toko Sinar
tidak jauh, cuma sekitar 500 meter. Dia
tidak menyangka, ternyata di jalan banyak dia jumpai gadis-gadis Belanda yang
lalu lalang menaiki sepeda. Mereka terlihat bergembira dan tidak takut. Jadi,
kini dia juga merasa tenang. Tapi tiba-tiba ada yang mengusik pikirannya. Muncul
pertanyaan dalam benaknya. Di mana gadis-gadis pribumi? Mengapa dia tidak menjumpai
gadis pribumi dari tadi. “ Oh pasti mereka tidak punya sepeda, sehingga mereka
tidak saya jumpai. Kasihan mereka. Belanda memang jahat.” Dia menjawab sendiri pertanyaan di benaknya.
Akhirnya sampai juga dia di Toko
Sinar. Setelah mendapat sekotak wafer, dia menuju sepedanya. Tapi tiba-tiba
perutnya merasa lapar. “Ah aku kan bawa makanan. Kenapa tidak aku buka saja
wafernya. Kuambil barang satu buah sekalian nyicip. Pasti Papa juga tidak akan
marah.”
Lalu dia buka bungkus wafernya
dan dia makan. “Hmm memang enak. Pantas saja Papa suka.” Lalu setelah makan
wafer satu buah, dia bergegas pulang.
Waktu dia pulang banyak juga dia
jumpai gadis-gadis Belanda yang sama seperti dia, membawa wafer dari Toko Sinar.
Kini dia tidak takut lagi keluar
rumah. Tapi keprihatinannya muncul terhadap nasib gadis-gadis pribumi yang menurutnya
mereka tidak punya sepeda dan tidak pernah makan wafer. (TAMAT)
Catatan : Cerita di atas
benar-benar fiksi, terinspirasi dari gambar pada kemasan kaleng wafer Nissin. Juga
terinspirasi dari guru TK saya dulu, namanya Bu Sri yang bisa mendongeng cerita
dari melihat sampul buku tulis, yaitu seorang gadis kecil, yang dijadikan tokoh
utama dongengnya. Semoga Anda terhibur ya… (^-^)
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.