Jumat, 16 November 2012

Cerpen : Wafer Untuk Papa



Mr. Holland menyodorkan uang kepada Helen, anaknya.

“Uang?” tanya Helen.

“Ya. Tolong belikan Papa wafer. Itu tu di Toko Sinar dekat bank." 

Helen mengernyitkan dahi, “Papa serius?"

“Ya, tentu saja Papa serius. Papa lagi kepingin wafer ni.. Ayo cepat berangkat. Kamu diperintah orang tua malas ya.”

“Tapi apa Papa tidak khawatir dengan keselamatan saya? Bagaimana kalau nanti saya ditembak orang pribumi? Nanti saya bisa mati Papa…”

“Kamu jangan terlalu penakut. Nanti Papa tembak balik orang yang tembak kamu.”

“Tapi saya sudah terlanjur mati Papa….”

“Tidak, jangan khawatir, tidak akan terjadi apa-apa.”

Dengan malas  Helen beranjak dari kursinya. Tiba-tiba dia menghentikan langkahnya. “Papa, naik apa saya kesana?”

Mr. Holland menghela nafas, “Ya pakai sepeda dong, di zaman kita kan belum ada motor matic.”

Lalu Helen pergi mengambil sepedanya. Dia lap sebentar debu-debu yang ada lalu dengan hati-hati mulai mengayuh sepedanya.

Jarak dari rumahnya ke Toko Sinar tidak jauh, cuma sekitar 500 meter.  Dia tidak menyangka, ternyata di jalan banyak dia jumpai gadis-gadis Belanda yang lalu lalang menaiki sepeda. Mereka terlihat bergembira dan tidak takut. Jadi, kini dia juga merasa tenang. Tapi tiba-tiba ada yang mengusik pikirannya. Muncul pertanyaan dalam benaknya. Di mana gadis-gadis pribumi? Mengapa dia tidak menjumpai gadis pribumi dari tadi. “ Oh pasti mereka tidak punya sepeda, sehingga mereka tidak saya jumpai. Kasihan mereka. Belanda memang jahat.” Dia  menjawab sendiri pertanyaan di benaknya.

Akhirnya sampai juga dia di Toko Sinar. Setelah mendapat sekotak wafer, dia menuju sepedanya. Tapi tiba-tiba perutnya merasa lapar. “Ah aku kan bawa makanan. Kenapa tidak aku buka saja wafernya. Kuambil barang satu buah sekalian nyicip. Pasti Papa juga tidak akan marah.”

Lalu dia buka bungkus wafernya dan dia makan. “Hmm memang enak. Pantas saja Papa suka.” Lalu setelah makan wafer satu buah, dia bergegas pulang.

Waktu dia pulang banyak juga dia jumpai gadis-gadis Belanda yang sama seperti dia, membawa wafer dari Toko Sinar.

Kini dia tidak takut lagi keluar rumah. Tapi keprihatinannya muncul terhadap nasib gadis-gadis pribumi yang menurutnya mereka tidak punya sepeda dan tidak pernah makan wafer. (TAMAT)

Catatan : Cerita di atas benar-benar fiksi, terinspirasi dari gambar pada kemasan kaleng wafer Nissin. Juga terinspirasi dari guru TK saya dulu, namanya Bu Sri yang bisa mendongeng cerita dari melihat sampul buku tulis, yaitu seorang gadis kecil, yang dijadikan tokoh utama dongengnya. Semoga Anda terhibur ya… (^-^)

Tidak ada komentar: